Selasa, 07 Desember 2010

Hadis




Saya ingin memulai tulisan ini dengan menyampaikan dua buah hadits
tentang kecintaan kepada Rasulullah saw. Pertama, hadits yang masyhur
diriwayatkan dalam kitab-kitab ahli sunnah, di antaranya dalam
Al-Targhib wal Takhib, sebuah kitab hadits yang sangat populer di
antara kita. Kedua, hadits yang dikutip dari Bihar Al-Anwar, kitab
hadits yang cukup besar dan menjadi rujukan mazhab Ahlul Bayt.

Hadits yang pertama menceritakan bahwa pada suatu hari ketika
Rasulullah saw sedang berbincang-bincang dengan para sahabatnya,
seorang pemuda datang mendekati Rasul sambil berkata, "Ya Rasulullah,
aku mencintaimu. " Lalu Rasulullah saw berkata: "Kalau begitu, bunuh
bapakmu!" Pemuda itu pergi untuk melaksanakan perintah Nabi. Kemudian
Nabi memanggilnya kembali seraya berkata, "Aku tidak diutus untuk
menyuruh orang berbuat dosa." Aku hanya ingin tahu, apa betul kamu
mencintai aku dengan kecintaan yang sesungguhnya? "

Tidak lama setelah itu, pemuda ini jatuh sakit dan pingsan. Rasulullah
saw datang menjenguknya. Namun pemuda itu masih dalam keadaan tidak
sadar. Nabi berkata, "Nanti kalau anak muda ini bangun, beritahu aku."
Rasululah saw kemudian kembali ke tempatnya. Lewat tengah malam pemuda
itu bangun. Yang pertama kali ia tanyakan ialah apakah Rasulullah saw
telah berkunjung kepadanya. Diceritakanlah kepada pemuda itu bahwa
Rasulullah saw bukan saja berkunjung, tapi beliau juga berpesan agar
diberitahu jika pemuda itu bangun. Pemuda itu berkata, "Tidak, jangan
beritahukan Rasulullah saw. Bila Rasulullah harus pergi pada malam
seperti ini, aku kuatir orang-orang Yahudi akan mengganggunya di
perjalanan." Segera setelah itu, pemuda itu menghembuskan nafasnya
yang terakhir.

Pagi hari usai shalat subuh, Rasulullah saw diberitahu tentang
kematian pemuda itu. Rasul datang melayat jenazah pemuda itu dan
berdo'a dengan do'a yang pendek tetapi sangat menyentuh hati, "Ya
Allah, sambutlah Thalhah di sisi-Mu, Thalhah tersenyum kepada-Mu dan
Engkau tersenyum kepadanya."

Dengan hal itu Nabi menggambarkan kepada kita, bahwa orang yang
mencintainya akan dido'akan oleh Nabi untuk berjumpa dengan Allah swt.
Allah akan ridha kepadanya dan dia ridha kepada Allah, Radhiyyatan
Mardhiyyah. Dia tersenyum melihat Allah dan Allah tersenyum melihatnya.

Hadits yang kedua mengisahkan seorang pedagang minyak goreng di
Madinah. Setiap kali dia hendak pergi, termasuk pergi ke pasar, dia
selalu melewati rumah Rasulullah saw. Dia selalu singgah di tempat itu
sampai dia puas memandang wajah Rasul. Setelah itu ia pergi ke pasar.
Suatu saatetelah melepaskan rindunya kepada Rasul, seperti biasanya ia
pergi ke pasar. Tapi tidak berapa lama setelah itu, dia datang lagi.
Nabi terkejut sehingga bertanya, "Kenapa kau balik lagi?" Ia menjawab,
"Ya Rasulullah, setelah saya sampai di pasar hati saya gelisah. Saya
ingin kembali lagi. Izinkan saya memandang Engkau sebentar saja untuk
memuaskan kerinduan saya." Kemudian Rasul berbincang-bincang dengan
orang itu.

Tidak lama setelah itu Nabi tidak lagi melihat tukang minyak itu lewat
di depan rumahnya. Berhari-hari orang itu tidak lagi kelihatan batang
hidungnya di depan Rasulullah saw. Lalu Rasul mengajak
sahabat-sahabatnya untuk menjenguk dia. Berangkatlah mereka ke pasar
dan mendapat kabar bahwa orang itu telah meninggal dunia. Rupanya
pertemuan sampai dua kali waktu itu merupakan isyarat bahwa dia tidak
bisa lagi memandang wajah Rasulullah saw.

Rasul bertanya kepada orang-orang di pasar, "Bagaimana akhlak orang
itu?" Mereka berkata, "Orang itu pedagang yang sangat jujur. Cuma ada
sedikit saja, orang ini senang perempuan." Kemudian Rasul berkata,
"Sekiranya orang itu dalam dagangnya agak lancung sedikit, Allah akan
mengampuni dosanya karena kecintaannya kepadaku." Tetapi orang itu
sangat jujur dan kecintaannya kepada Rasul dibuktikan dalam
kejujurannya di dalam berdagang.

Dua hadits di atas menceritakan kepada kita tentang pentingnya
mencintai Rasulullah saw. Sudah sering kita mendengar hadits yang
berbunyi, "Belum beriman kamu sebelum aku lebih kamu cintai daripada
dirimu, anak-anakmu, dan seluruh ummat manusia."

Kita semua diperintahkan mencintai Rasulullah saw. Mencintai Rasul
merupakan bagian dari seluruh bangunan keislaman kita. Oleh karena
itu, dahulu para ulama melakukan berbagai cara agar kecintaan kepada
Nabi terus-menerus dibangkitkan. Di antaranya dengan menghias
majelis-majelis mereka dengan bacaan shalawat, mengadakan peringatan
maulid, dan mengungkapkan kecintaan mereka dengan puisi-puisi,
sehingga sepanjang sejarah sudah terkumpul ribuan puisi yang ditulis
untuk mengungkapkan kecintaan kepada Rasululah saw.

Beberapa waktu yang lalu di masjid Asy-Syifâ, Universitas Diponegoro,
saya mengajak semua orang untuk kembali membangkitkan kecintaan kepada
junjungan kita Rasulullah saw. Ada orang yang bertanya kepada saya:
"Saya ingin mencintai Rasulullah, tapi apa yang harus saya lakukan
supaya kecintaan itu tertanam di dalam hati saya. Kalau saya ini
mencintai seorang perempuan, saya bayangkan wajahnya, rambutnya, dan
bibirnya supaya tumbuh kerinduan saya kepada perempuan itu. Apakah
saya harus membayangkan wajah Rasululah saw, supaya saya bisa
men-cintainya? " Waktu itu saya menjawab: "Inilah bencana paling besar
yang menimpa kita sekarang ini. Kita hanya bisa mencintai sesuatu yang
bisa dilihat, diraba, dan disaksikan. Kita ini sama dengan orang-orang
kafir yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Mereka hanya mencintai yang
zhahir saja, mata mereka tidak dapat menembus hal-hal yang bathiniyah.

Jadi, kalau kita mau mencintai, maka cinta kita hanya cinta fisikal
saja, cinta yang sensual. Kita tidak dididik untuk mencintai orang
bukan karena tubuhnya. Di dalam ilmu percintaan, cinta karena tubuh
adalah tahapan cinta yang paling rendah. Para ahli jiwa mengatakan,
cinta pertama pada anak-anak adalah cinta pada sesuatu yang bisa
dilihat. Menurut Sigmund Freud, pertama kali seseorang mencintai ialah
ketika dia merasakan kenikmatan pada waktu menyusu kepada ibunya.
Itulah cinta yang paling rendah. Makin dewasa orang itu, makin abstrak
atau makin tidak kelihatan cintanya. Sayang, tampaknya kedewasaan kita
ini lambat.

Salah satu ciri ketidakdewasaan kita adalah bila kita mencintai
sesuatu, itu dikarenakan oleh hal-hal yang kongkret dan bisa dilihat.
Kita cinta kepada gunung, karena kehijauannya yang bisa dilihat dan
kesejukkan anginnya yang bisa dirasakan. Bukan karena keanggunannya
dan misteri yang ada dibalik gunung itu. Kalau kita menceritakan laut,
yang kita ceritakan adalah gelombangnya, batu-batu karangnya, dan
ikan-ikannya. Tidak kita ceritakan keluasan samudera itu,
kedahsyatannya, dan pengaruhnya kepada jiwa kita. Sebab, semua hal itu
terlalu abstrak dan kita terbiasa dengan hal-hal yang kongkret.

Ketika Pemilu, kita memilih partai bukan program-programnya. Karena
program bersifat abstrak, tidak kelihatan. Kita jugamemilih bukan
karena perilaku para politisinya, karena perilaku itu tidak kelihatan.

Tapi saya tidak akan menceritakan hal itu, saya akan membawa Anda
mencintai Rasulullah saw dengan kecintaan yang lebih tinggi
tingkatnya. Bukan kecintaan fisikal atau jasmaniah. Kecintaan
jasmaniah itu adalah kecintaan ala ABG, yang tidak layak buat
orang-orang dewasa seperti kita.

Kalau kita buka ayat Al-Qur'an, ketika Allah berkisah tentang
Rasulullah saw, tidak pernah diceritakan sifat-sifat jasmaniah
Rasulullah saw. Al-Qur'an selalu menceritakan sifat-sifat ruhaniah
Rasulullah saw. Bercerita tentang akhlak Rasulullah saw, bukan
penampilan fisiknya.

Berbeda dengan para sahabat. Kalau sahabat bercerita tentang
Rasulullah saw sering berupa penampilan fisiknya. Misalnya diceritakan
bahwa Rasul itu kalau tertawa sampai kelihatan gusinya. Atau
diceritakan tentang tetesan keringat Rasul. Siti Aisyah pernah
terpesona dengan tetesan keringat di dahi Rasul, sampai dia berkata:
"Ya Rasulullah, ingin saya bacakan sebuah puisi kepadamu." Lalu Siti
Aisyah menuliskan puisinya dengan mengutip syair seorang Arab tentang
tetesan keringatnya. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Siti Aisyah
hanya mencintai Rasulullah saw karena jasmaninya.

Saya ingin mengetengahkan satu ayat Al-Qur'an. Ada riwayat yang agak
lucu tentang ayat ini. Katanya setelah Al-Qur'an terkumpul dan
tertulis pada zaman Abu Bakar, seseorang berkata bahwa ada satu ayat
yang hilang. Pada waktu itu, seseorang yang mengumpul-kan ayat harus
membawa saksi satu orang. Sehingga jumlah pengumpul ayat ada dua
orang. Seseorang berbicara, "Ada yang terlewat, satu ayat belum masuk
ke situ." Dia hanya seorang diri, tidak mempunyai saksi. Namanya
Khuzaimah bin Tsabit. Lalu orang-orang berkata, "Kesaksian Khuzaimah
bin Tsabit dihitung menjadi dua, karena hanya dia yang mengetahui ayat
Al-Qur'an ini."

Lepas dari persoalan hadits ini shahih atu tidak, ayat itu bercerita
tentang akhlak Rasullullah saw dan ayat itu sering menjadi wirid kita
semua. Mungkin ini juga merupakan cara agar kita mampu memasukkan
akhlak itu dalam kehidupan kita. Ayat itu berbunyi, "Laqad Jâ'akum
Rasûlum Min Anfusikum…" (QS Al-Taubah 128). Menurut Fakhrur Râzi, kata
anfusikum menurut qira'at nabi saw, qira'at Fatimah as, dan qira'at
Aisyah dari Ibnu Abbas as harus dibaca Anfasikum. Dibacanya
difathahkan bukan didhammahkan. Hal ini akan kita ceritakan kemudian.

Fakhrur Razi menjelaskan ada empat sifat Nabi yang tergambar dalam
Surat At-Taubah ayat 128. Pertama, Min Anfusikum, dari kalanganmu
sendiri. Nabi berasal dari sesama manusia seperti kamu. Nabi yang
datang itu bukanlah Nabi yang datang sebagai makhluk ghaib, bukan pula
Superman, tapi Nabi yang datang dari tengah-tengah manusia. Bahkan
Nabi diperintahkan untuk berkata bahwa Nabi adalah manusia seperti
kita semua, seperti dalam ayat "Qul innamâ anâ basyârum mitslukum…"
(QS. Al-Kahfi 110) Nabi adalah manusia biasa. Kalau ia berjalan, ada
bayang-bayang badannya. Kalau terkena panas matahari, berkeringat
kulitnya. Kalau terkena anak panah, berdarah tubuhnya. Ia bukan
manusia istimewa dari segi jasmaniahnya, ia pun merasakan lapar dan
dahaga. Al-Qur'an menegaskan bahwa kehidupan Nabi itu sama seperti
kehidupan manusia biasa. Nabi dapat merasakan kepedihan dan
penderitaan seperti manusia biasa yang mendapatkan musibah.

Dalam qira'at Min Anfasikum, diterangkan bahwa kata Anfas mengandung
arti yang paling mulia. Jadi ayat ini berarti, "Sudah datang di antara
kamu seorang Rasul yang paling mulia." Artinya Rasulullah diakui
kemuliaannya, bahkan sebelum Rasul membawa ajaran Islam. Dia adalah
orang yang paling baik di tengah-tengah masyarakatnya dilihat dari
segi akhlaknya. Sebagian orang ada yang menyebutkan bahwa Rasul
berasal dari kabilah yang paling baik. Jadi sifat pertama nabi adalah
paling mulia akhlaknya, sampai orang-orang di sekitarnya memberi gelar
Al-Amîn, orang yang terpercaya.

Sifat kedua Nabi ialah, berat hatinya melihat penderitaan umat
manusia. Para ahli tafsir mengatakan yang dimaksud dengan berat hati
Nabi ialah kalau manusia menemukan hal-hal yang tidak enak. Dalam
riwayat yang lain, yang diartikan dengan berat hati Rasul ialah jika
orang Islam berbuat dosa kepada Allah. Dalam sebuah hadits,
diriwayatkan bahwa sampai sekarang Rasulullah masih dapat melihat
perbuatan-perbuatan kita dan Rasul akan menderita jika melihat kita
berbuat dosa. Karena beliau sangat ingin supaya kita memperoleh
petunjuk Allah. Bahkan Rasul sampai bersujud di hadapan Allah agar
diizinkan untuk dapat memberi syafaat kepada umatnya.

Jalaluddin Rumi bercerita dalam salah satu syairnya yang dibukukan
dalam Al-Matsnawi tentang Rasulullah saw. Pada suatu hari di mesjid,
Rasul kedatangan serombongan kafir yang meminta untuk bertamu. Mereka
berkata, "Kami ini datang dari jarak yang jauh, kami ingin bertamu
kepada Engkau, Ya Rasulullah." Lalu Rasul mengantarkan para tamu
tersebut kepada para sahabatnya. Salah seorang kafir yang bertubuh
besar seperti raksasa tertinggal di mesjid, karena tidak ada seorang
sahabat pun yang mau menerimanya. Dalam syair itu disebutkan, ia
tertinggal di mesjid seperti tertinggalnya ampas di dalam gelas.
Mungkin para sahabat takut menjamu dia, karena membayangkan harus
menyediakan wadah yang sangat besar.

Lalu Rasul membawa dan menempatkannya di sebuah rumah. Dia diberi
jamuan susu dengan mendatangkan tiga ekor kambing dan seluruh susu itu
habis diminumnya. Dia juga menghabiskan makanan untuk delapan belas
orang, sampai orang yang ditugaskan melayani dia jengkel. Akhirnya
petugas itu menguncinya di dalam. Tengah malam, orang kafir itu
menderita sakit perut. Dia hendak membuka pintu tapi pintu itu
terkunci. Ketika rasa sakit tidak tertahankan lagi, akhirnya orang itu
mengeluarkan kotoran di rumah itu.

Setelah itu, ia merasa malu dan terhina. Seluruh perasaan bergolak
dalam pikirannya. Dia menunggu sampai menjelang subuh dan berharap ada
orang yang akan membukakan pintu.
Pada saat subuh dia mendengar pintu
itu terbuka, segera saja dia lari keluar. Yang membuka pintu itu
adalah Rasulullah saw.

Rasul tahu apa yang terjadi kepada orang kafir itu. Ketika Rasul
membuka pintu itu, Rasul sengaja bersembunyi agar orang kafir itu
tidak merasa malu untuk meninggalkan tempat tersebut.

Ketika orang kafir itu sudah pergi jauh, dia teringat bahwa azimatnya
tertinggal di rumah itu. Jalaluddin Rumi berkata, "Kerasukan
mengalahkan rasa malunya. Keinginan untuk memperoleh barang yang
berharga menghilangkan rasa malunya." Akhirnya dia kembali ke rumah itu.

Sementara itu, seorang sahabat membawa tikar yang dikotori oleh orang
kafir itu kepada Rasul, "Ya Rasulullah, lihat apa yang dilakukan oleh
orang kafir itu!" Kemudian Rasul berkata, "Ambilkan wadah, biar aku
bersihkan." Para sahabat meloncat dan berkata, "Ya Rasulullah, engkau
adalah Sayyidul Anâm. Tanpa engkau tidak akan diciptakan seluruh alam
semesta ini. Biarlah kami yang membersihkan kotoran ini. Tidak layak
tangan yang mulia seperti tanganmu membersihkan kotoran ini." "Tidak,"
kata Rasul, "ini adalah kehormatan bagiku." Para sahabat berkata,
"Wahai Nabi yang namanya dijadikan sumpah kehormatan oleh Allah, kami
ini diciptakan untuk berkhidmat kepadamu. Kalau engkau melakukan ini,
maka apalah artinya kami ini."

Begitu orang kafir itu datang ke tempat itu, dia melihat tangan
Rasulullah saw yang mulia sedang membersihkan kotoran yang
ditinggalkannya. Orang kafir tidak sanggup menahan emosinya. Ia
memukul-mukul kepalanya sambil berkata, "Hai kepala yang tidak
memiliki pengetahuan. " Dia memukul-mukul dadanya sambil berkata, "Hai
hati yang tidak pernah memperoleh berkas cahaya." Dia bergetar
ketakutan menahan rasa malu yang luar biasa. Kemudi-an Rasul menepuk
bahunya menenangkan dia. Singkat cerita, orang kafir itu masuk Islam.

Boleh jadi cerita Jalaluddin Rumi ini adalah sebuah metafora. Suatu
perlambang bahwa kedatangan Rasul adalah untuk membersihkan kotoran
dan noda-noda yang ada pada diri kita. Betapa banyaknya kaum muslimin
menodai rumah Rasul dengan kemaksiatan dan akhlak yang buruk. Kita ini
sama dengan orang kafir yang menaburkan kotoran di rumah Rasul yang
suci. Bedanya ialah, kita percaya karena kecintaan Nabi kepada kita,
Rasul akan mengulurkan syafaatnya kepada kita. Derita kita adalah juga
derita Rasul. Karena itu, jangan ragu-ragu untuk datang meminta
syafaatnya dan bersimpuh di hadapan Nabi sambil mengucapkan, "Yâ Abal
Qâsim, Yâ Rasûlallâh, Yâ Wajîhan `Indallâh, Isyfa'lanâ `Indallâh."

Terlalu banyak kotoran yang kita taburkan di rumah Nabi yang mulia.
Seperti tertulis dalam sebuah puisi Iqbal. Ketika sakit keras, Iqbal
pernah berdo'a: "Ya Allah kalau Engkau adili aku di hari kiamat nanti,
jangan dampingkan aku di samping Nabi Al-Musthafa. Karena aku malu
mengaku sebagai umatnya padahal hidupku bergelimang dalam dosa."

Kita sebenarnya harus malu seperti malunya orang kafir itu. Kita
datang berziarah kepada Rasul di bulan Maulid ini dengan membawa
seluruh kemaksiatan. Kita sudah banyak mengotori rumah Rasul yang
mulia dengan akhlak yang tercela.
Tapi kita percaya bahwa Nabi
mendengar jeritan kita. Kita sadari kejelekan akhlak-akhlak kita dan
kita malu bertemu dengan Rasul dengan membawa dosa. Tetapi kita
percaya bahwa kita menantikan tepukan tangan Rasul untuk menentramkan
batin kita dan mengharapkan syafaatnya.

Sifat ketiga Rasullullah saw, ialah bahwa ia sangat ingin agar kaum
muslimin memperoleh kebaikan. Ia ingin memberikan petunjuk kepada
umatnya. Keinginan untuk memberikan petunjuk kepada kita begitu besar,
sehingga Rasul bersedia memikul seluruh penderitaan dalam berdakwah.

Adapun sifat keempat Rasulullah saw, ialah bahwa ia sangat penyantun
dan penyayang kepada kaum mukminin. Menurut para ahli tafsir, belum
pernah Allah menghimpunkan dua nama-Nya sekaligus pada nama seorang
nabi, kecuali kepada Nabi Muhammad saw. Nama yang dimaksud ialah nama
Raûfur Rahîm.

Raûfur Rahîm itu adalah nama Allah. Nama itu pun dinisbahkan Allah
kepada Rasulullah. Menurut sebagian ulama, Raûfun artinya penyayang
dan Rahîm artinya pengasih. Jika kedua kata itu digabungkan dalam satu
tempat, maka artinya berbeda. Menurut sebagian ahli tafsir, nama itu
berarti sifat Nabi yang penyayang tidak hanya kepada orang yang taat
kepadanya, tapi juga penyayang kepada orang yang berbuat dosa. Nabi
melihat amal kita setiap hari. Beliau berduka cita melihat amal-amal
kita yang buruk.

Dalam riwayat yang lain, Rasul itu Raûfun Liman Râ'ah, Rahîmun Liman
Lam Yarâh. Artinya, Rasul itu penyayang kepada orang yang pernah
berjumpa dengannya dan juga penyayang kepada orang yang tidak pernah
berjumpa dengannya. Suatu hari Rasul berkata, "Alangkah rindunya aku
untuk berjumpa dengan ikhwânî." Para sahabat bertanya, "Bukankah kami
ini ikhwânuka." "Tidak," jawab Rasul, "kalian ini sahabat-sahabatku.
Saudara-saudaraku adalah orang yang tidak pernah berjumpa denganku,
tapi membenarkanku dan beriman kepadaku." Rasul sangat sayang kepada
orang yang tidak pernah berjumpa dengan Rasul tetapi beriman kepadanya.

Di dalam Tafsir Al-Dûrrul Mantsûr, diriwayatkan sebagai berikut,
"Berbahagialah orang yang beriman kepadaku, padahal tidak pernah
berjumpa denganku." Rasul menye-butnya sampai tiga kali. Rasul juga
sayang bukan hanya kepada orang Islam saja, tetapi juga kepada orang
kafir.

Saya akan menceritakan hadits lain. Diriwayatkan bahwa ketika Rasul
berdakwah di Thaif, Rasul dilempari batu sehingga tubuhnya berdarah.
Kemudian Rasul berlindung di kebun Uthbah bin Rabi'ah. Rasul berdo'a
dengan do'a yang sangat mengharukan. Rasul memanggil Allah dengan
ucapan, "Wahai yang melindungi orang-orang yang tertindas, kepada
siapa Engkau akan serahkan aku, kepada saudara jauh yang mengusir
aku?" Kemudian datang malaikat Jibril seraya berkata: "Ya Muhammad,
ini Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu. Dan ini malaikat yang
mengurus gunung-gunung, diperintah Allah untuk mematuhi seluruh
perintahmu. Dan dia tidak akan melakukan apapun kecuali atas
perintahmu." Lalu malaikat dan gunung berkata kepada Nabi, "Allah
memerintahkan aku untuk berkhidmat kepadamu. Jika engkau mau, biarlah
aku jatuhkan gunung itu kepada mereka." Namun Nabi berucap, "Hai
malaikat dan gunung, aku datang kepada mereka karena aku berharap
mudah-mudahan akan keluar dari keturunan mereka orang-orang yang
mengucapkan kalimat Lâilâha illallâh." Nabi tidak mau menurunkan azab
kepada mereka. Nabi berharap kalau pun mereka tidak beriman, keturunan
mereka nanti akan beriman. Kemudian berkata para malaikat dan gunung,
"Engkau seperti disebut oleh Tuhanmu, sangat penyantun dan penyayang."

Kasih sayangnya tidak terbatas kepada umatnya. Perasaan cinta kita
kepada Nabi tidak sebanding dengan besarnya kecintaan Nabi kepada kita
semua. Kecintaan Nabi terhadap orang-orang yang menderita begitu
besar. Menurut Siti Aisyah, Nabi tidak makan selama tiga hari
berturut-turut dalam keadaan kenyang. Ketika Aisyah bertanya apa
sebabnya, Nabi menjawab, "Selama masih ada ahli shufah —orang-orang
miskin yang kelaparan di sekitar mesjid— saya tidak akan makan
kenyang." Dan itu tidak cukup hanya pada saat itu, Nabi juga
memikirkan umatnya di kemudian hari. Beliau khawatir ada umatnya yang
makan kenyang sementara tetangga di sekitarnya kelaparan.

Karena itu, Nabi berpesan, "Tidak beriman kamu, jika kamu tidur dalam
keadaan kenyang sementara tetanggamu kelaparan." Nabi pun mengatakan,
"Orang yang senang membantu melepaskan penderitaan orang lain, akan
senantiasa mendapat bantuan Allah swt." Empat sifat Rasulullah kepada
umatnya, yang sangat luar biasa.

Marilah kita kenang kecintaan Rasulullah yang agung kepada kita dan
bandingkanlah apa yang bisa membuktikan kecintaan kita kepadanya.
Sekarang kita bertanya, sudah sejauh mana kita mengikuti sunnah
Rasulullah saw? Dapatkah akhlak kita seperti akhlak Nabi sebagaimana
yang disebut dalam surat Al-Taubah 128? Bagai-mana kita dapat ikut
merasakan penderitaan orang-orang di sekitar kita? Bagaimana kita
menjadi orang yang berusaha agar orang- orang lain itu hidup bahagia
dan memperoleh petunjuk Allah? Bagaimana kita menumbuh-kan sikap
Raûfur Rahîm di dalam diri kita seperti Rasulullah saw contohkan
kepada kita?

Marilah kita sebarkan kecintaan kepada Rasulullah saw di dalam diri
kita, keluarga kita, dan pada masyarakat di sekitar kita. Akhirul
kalam, yang harus selalu kita ingatkan pada diri kita adalah misi
Rasulullah yang paling utama, yaitu misi akhlak yang mulia. Tidak ada
artinya menisbahkan diri kita kepada Rasulullah saw tanpa memelihara
akhlak yang mulia. Hendaknya kita selalu malu untuk mengucapkan
shalawat kepada junjungan kita, sementara di punggung kita penuh
dengan dosa dan maksiat. Kita telah mengotori rumah Rasulullah saw
dengan akhlak buruk kita.

dikaji dari sumber islami Tafsir cinta Rasul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar anda di sini.. terima saran yang membangun.